BANYAK masalah utama di industri telekomunikasi yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2018 ini, atau cenderung terjadi karena tahun ini baru “pemanasan”. Namun isu yang akan tetap hangat adalah persaingan yang makin tajam, walau sudah ada tanda-tanda ada pihak yang akan menyerah dengan mulai mengibarkan bendera putih, akibat pendapatan mereka menurun.
Walau sejatinya tidak akan ada operator yang menyerah, sebab industri telko merupakan industri simalakama, kalau diteruskan merugi, dihentikan lebih merugi pula karena investasinya tidak murah. Langkah paling masuk akal adalah efisiensi, meskipun untuk pemasaran tidak ada kata mengencangkan ikat pinggang, karena umumnya pemasaran itu royal walau akhirnya harus terkendali.
Industri telekomunikasi Indonesia fokus pada tiga besar dari enam pelaku, yaitu PT Telkomsel, PT Indosat Ooredoo dan PT XL Axiata, sementara tiga lainnya, Smartfren, Hutchison Tri Indonesia (Tri) dan Sampurna adalah pengikut dari jauh. Tiga pelaku utama menguasai 85 persen pangsa pasar dengan Telkomsel yang terunggul karena memiliki 190 juta pelanggan, Indosat Ooredoo 97 juta dan XL Axiata 53,5 juta.
Jaringan Telkomsel merata hingga daerah terpencil, terdepan dan terluar, tidak hanya di perkotaan yang menjanjikan pengembalian modal dalam waktu dekat. Telkomsel menggelar 152.000 base transceiver station (BTS) di seluruh Indonesia juga di beberapa kapal penumpang milik PT Pelni. Sementara operator lain lebih suka berkutat di Pulau Jawa dan beberapa kota besar di pulau-pulau lainnya, dengan jumlah BTS masing-masing sekitara di bawah 100.000 buah kecuali XL Axiata yang hampir 102.000 buah.
Sepanjang masa rezim Jokowi – JK sejak 2014 hingga kini, ada sejumlah kebijakan dan pekerjaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang bisa menjadi catatan. Ada yang berhasil diterapkan dengan baik, ada yang tertunda pelaksanaannya, ada pula yang sulit untuk dilaksanakan.
Masalahnya sangat sepele, mengganggu kenyamanan bisnis petahana, Telkomsel, yang sering kali lalu dihubungkan dengan kepentingan nasional. Maklum, megasetoran dari dividen dan pajak setiap tahun yang bahkan melebihi setoran bank BUMN terbesar, Bank Rakyat Indonesia (BRI). Karenanya pemerintah sangat sensitif jika ada pesaing yang berpotensi menggerogoti pasar Telkomsel.
Akan ada kebijakan besar yang bisa menjadi kebijakan terbaik yang pernah dilakukan seorang menteri Kominfo, konsolidasi. Jika semua berjalan lancar, aturan-aturan soal konsolidasi, merger akan selesai sebelum akhir tahun ini.
Konsolidasi akan menyiutkan jumlah operator dari tujuh menjadi hanya tiga sehingga industri akan lebih efisien. Paling utama posisi tawar terhadap vendor akan lebih baik, kemampuan mengerahkan biaya modal lebih kuat, dan jumlah pelanggan juga bisa dikontrol ketat untuk meningkatkan pendapatan.
Ada angin apa sehingga Kominfo memrioritaskan rancangan peraturan menteri, sementara ide konsolidasi sudah tumbuh sejak awal periode Jokowi – JK, namun hingga akhir 2017 masih melempem. Mengaca pada proses akuisisi Axis (Saudi Telecom) oleh PT XL Axiata beberapa tahun lalu yang hanya mendasarkan pada kebijakan “kilat”, tampaknya Menteri Kominfo Rudiantara bersikap lebih hati-hati.
Tidak Begitu “Sreg”
Masalah utama konsolidasi yang bisa berupa akuisisi (pengambilalihan), merger (penggabungan dua perusahaan atau lebih), atau peleburan adalah soal penguasaan spektrum frekuensi radio yang dimiliki operator yang terlibat. Dalam kasus XL – Axis, operator milik kelompok Axiata itu mengembalikan 10 MHz di spektrum 2,1 GHz bekas Axis ke pemerintah, yang kemudian dilelang dan dimenangkan oleh Indosat dan Tri.
Konon untuk membatasi pemilikan spektrum berlebihan – lebar frekuensi dibanding jumlah pelanggan – pemerintah waktu itu mengambil 2 kanal di 2,1 GHz tadi, dan membiarkan XL Axiata mengambil 15 MHz di spektrum 1800 MHz bekas Axis. Kebijakan ini pun sempat membuat operator lain berang karena perbandingan pelanggan dan lebar spektrum yang njomplang yang membuat XL punya banyak sisa frekuensi.
Berdasarkan aturan yang pernah ada, penggabungan tiga operator analog masa lalu tidak mengembalikan frekuensi kepada pemerintah. Ketika mereka digabung lagi dengan Smart Telecom, yang dilakukan adalah penggabungan pemasaran produk, dengan nama Smartfren.
Konsolidasi menjadi seksi karena ada rencana (konon sedang dalam proses), pembelian PT Indosat Oordeoo oleh kelompok Sinar Mas sebagai pemilik PT Smartfren, yang lalu akan mengakuisisi PT Hutchison Tri Indonesia (Tri). Transaksi akan menunggu payung hukum yang sedang digarap, walau konon kesepakatan harga akuisisi semua saham milik Kelompok Ooredoo (Qatar) sudah terjadi.
Jika penggabungan tiga operator yang diperkirakan senilai Rp 50 triliun lebih itu terlaksana, peta industri telekomunikasi Indonesia akan berubah, hanya ada PT Telkomsel, T Indosat Smart (?), PT XL Axiata dan PT Sampurna Telekomunikasi Indonesia. Indosat akan punya frekuensi 112,5 MHz, sementara Telkomsel 82,5 MHz dan XL Axiata 45 MHz.
Jika pemerintah mewajibkan Sinar Mas mengembalikan sebagian frekuensinya, bisa jadi 10 MHz di 2,1 Ghz akan lepas kembali, untuk dilelang oleh pemerintah. Dan, tinggal Telkomsel dan XL Axiata saja yang akan memperebutkannya, yang kalau dimenangkan keduanya maka Telkomsel akan memiliki 87,5 MHz dan XL Axiata 50 MHz.
Kebijakan lewat Permen (Peraturan Menteri) Kominfo mungkin tidak akan persis seperti ini, karena pertimbangan industri harus sehat menjadi yang utama dengan posisi tawar terhadap vendor yang sudah terbangun bagus pasca konsolidasi tetap terpelihara. Apalagi setelah konsolidasi mungkin saja Sinar Mas akan membersihkan pelanggan tidur, sehingga jumlah pelanggan kelompok itu tidak lagi 166 juta (Isat 97 juta, Tri 57 juta dan Smartfren 12 juta), tetapi menjadi hanya sekitaran 62 juta dengan ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) yang lumayan, sekitar Rp 45.000, sementara Telkomsel dengan 190 juta pelanggan tetap unggul dengan ARPU Rp 56.000.
Apakah calon konsolidan, utamanya Indosat dan Tri setuju dengan aksi Sinar Mas ini? Beberapa media mengungkapkan, Hutchison Tri Indonesia (Tri) tidak begitu sreg. Walau bukan porsi jajaran direksi untuk berpendapat, namun Wakil Dirut PT HTI, Moh Danny Buldansyah berpendapat, konsolidasi akan menjadikan industri lebih efisien dan lebih sehat.
Katanya, konsolidasi terbaik adalah antara PT Indosat Ooredoo, PT XL Axiata dan Tri. “PT Indosat dan PT XL Axiata bisa mendongkrak kinerja bisnis perusahaan,” ujarnya (Bisnis Indonesia, 8/2). ***