SINYALMAGZ.com – Baru-baru ini sebuah studi mengungkapkan bahwa ternyata para jurnalis dan politisi perempuan sering mendapatkan kekerasan verbal di linimasa Twitter. Bahkan, kekerasan verbal tersebut terjadi setiap 30 detik.
Dilansir dari laman Geek, Senin (31/12/2018), studi yang dilakukan oleh Organisasi Amnesti International itu telah memeriksa lebih dari 228.000 cuitan kekerasan verbal yang dilayangkan kepada 778 jurnalis dan politisi perempuan di Amerika Serikat (AS) serta Inggris pada tahun 2018.
Studi tersebut dibantu oleh teknologi neural network kecerdasan buatan (AI, Artificial Intelligence) untuk mengumpulkan kategori cuitan berisikan kekerasan verbal dan persekusi terhadap pengguna perempuan di Twitter.
Berikut beberapa temuan dari survei tersebut.
– 1 dari 10 cuitan berisikan kekerasan verbal terhadap perempuan berkulit hitam.
– Lebih dari 7 persen cuitan kekerasan verbal dilayangkan ke kaum perempuan.
– 34 persen cuitan kekerasan verbal ditujukan kepada perempuan berkulit hitam dan dari etnis minoritas.
“Hasil dari cuitan tersebut menandakan kalau Twitter menjadi tempat yang sarat dengan cuitan kebencian, mulai dari rasisme, misogyny (kebencian terhadap perempuan), dan juga homofobia.”, ujar Kate Allen, Direktur Amnesty UK.
Sementara itu, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Senin (31/12/2018), pada Maret 2018, Amnesti International juga mengklaim bahwa Twitter telah gagal mencegah kekerasan dan pelecehan online terhadap perempuan.
Sebaliknya, Twitter justru dinilai menciptakan lingkungan “beracun” bagi perempuan.
Selain itu, dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada 21 Maret 2018, Amnesti International mengungkapkan bahwa Twitter memberikan respon secara tidak konsisten saat kasus pelecehan disorot. Bahkan, ketika hal itu melanggar aturannya sendiri.
Laporan tersebut dipublikasikan bertepatan dengan 12 tahun sejak twit pertama Twitter diunggah.
Organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) itu menuduh Twitter telah gagal menghormati hak-hak perempuan, dengan tidak bisa menginterpretasikan dan menegakkan kebijakannya untuk mencegah konten beracun atau negatif.
Akibatnya, muncul ancaman pembunuhan, pemerkosaan dan rasis, juga transphobia serta homophobia terhadap perempuan.
Laporan Amnesti International tersebut berisi survei dengan responden 1.100 perempuan Inggris.
Hasilnya, hanya 9 persen berpikir Twitter melakukan cukup upaya menghentikan kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan.
Sementara 78 persen merasa layanan tersebut bukan tempat untuk menyalurkan pendapat mereka tanpa menerima. Misalnya, perkataan kasar.
Direktur Amnesti Inggris, Kate Allen, menegaskan bahwa Twitter telah menjadi sebuah “tempat beracun” bagi kaum perempuan.
“Selama ini, perempuan di Twitter dengan mudah dihadapkan ancaman kematian atau pemerkosaan, serta gender, etnis dan orientasi mereka diserang.”, ungkap Allen.