SINYAL.co.id– Suatu sore di Stockholm, Swedia, meski lelah dan dilanda sakit, Daniel Ek tetap melanjutkan rencana perjalanannya ke San Fransisco, New York, Denmark, Belanda dan Perancis untuk memantau peluncuran bisnisnya. Ya, apalagi kalau bukan Spotify. Di Indonesia, namanya mungkin belum setenar bos-bos industri digital lainnya, namun pria berkepala botak ini patut diperhitungkan.
Spotify adalah sebuah layanan musik streaming yang menawarkan musik yang diklaim legal. Layanan ini bekerja sama dengan berbagai studio rekaman dan label musik di seluruh dunia. Sukses di beberapa negara, membuat Daniel merambah Indonesia. Akhir Maret lalu, Spotify resmi melayani pecinta musik tanah air.
Daniel Ek dilahirkan di Stockholm, Swedia pada 21 Februari 1983. Bakat bisnis pria satu ini rupanya sudah nampak sejak ia menginjak usia remaja. Di usia nya yang kala itu masih belia, ia sudah menjalankan bisnis web hosting dari kamarnya sendiri.
Kala itu ia baru berusia 13 tahun dan sudah menyediakan jasa pembuatan website. Sebagian besar waktunya dihabiskan di depan komputer. Hingga pada suatu saat, orang-orang mulai menginginkan jasanya untuk membuat website bisnis untuk mereka. Saat coba-coba, Ek mematok harga $100 untuk sebuah website. Melihat peluang ini, jiwa enterpreneur Ek muda mulai bangkit. Berikutnya, ia mematok harga $200. Begitu seterusmya hingga akhirnya harganya mencapai $5000 untuk sebuah website. Meski masih muda, ia sudah tahu merasakan hasil usahanya sendiri.
Tak berhenti sampai di situ, ia merekrut teman-teman sekolahnya untuk bekerja padanya. Anak yang jago matematika jadi sasarannya kala itu. Uniknya, ia hanya membayar mereka dengan video games. Berbekal itu, Ek mengajarkan teman-temannya bagaimana membuat sebuah website dari komputer sekolahnya. Berkat hal tersebut, pendapatannya perbulan mencapai $50.000.
Mulanya orang tuanya tidak mengetahui pergerakan Ek. Orang tuanya baru mengetahui ketika tiba-tiba terdapat sebuah televisi yang besar terdapat di rumah mereka. Barulah mereka sadar, Ek lah yang bertanggung jawab. Akhirnya, orang tua Ek memutuskan untuk pindah rumah. Kesempatan ini dimanfaatkan Ek untuk mengembangkan kerajaan kecil yang sudah dibangunnya. Ia kemudian mempekerjakan sebuah tim beranggotakan 25 orang. Kemudian ia memutuskan untuk bangkrut dan menjual perusahaannya itu.
Ek kuliah di Royal Institute Technology di Swedia mengejar gelar sarjana teknik. Di Swedia, universitasnya termasuk unggulan dan Ek berhasil masuk ke kampus elit tersebut. Bagaimana tidak, nilainya hampir sempurna ketika lulus SMA. Namun, ia tidak pernah lulus dari universitas ini. Baru delapan minggu kuliah berjalan, ia memutuskan untuk hengkang. Dari sinilah ia kembali fokus pada bisnis.
Usai hengkang dari kampusnya, Ek bekerja di TradeDoubler. TradeDoubler adalah sebuah perusahaan periklanan di Eropa. Di kawasan Eropa nama TradeDoubler juga cukup tenar. Berkat pekerjaannya, Ek bergelimang harta. Ia memiliki sebuah Ferarri merah. Gaya hidupnya berubah. Apa yang ia lakukan, semuanya serba mahal. Namun, tiba saatnya Ek merasa kosong. Gaya hidupnya ternyata tak membuatnya bahagia. “Saya sadar, gadis-gadis yang bersama dengan saya tidak sepenuhnya baik. Mereka hanya memanfaatkan saya. Teman saya pun bukan teman yang sebenarnya” ujar Ek. Ia akhirnya menjual semua asetnya dan pindah ke sebuah kabin kecil dekat tempat tinggal orang tuanya.
Masa-masa itu ia isi dengan bermain musik. Ek sebenarnya dilahirkan di keluarga pemusik. Neneknya adalah seorang penyanyi opera, sedangkan kakeknya seorang pianis Jazz. Ek sudah akrab dengan musik sejak kecil. Di kabin kecil itu, ia terus bermusik dengan gitar. Sesekali ia pergi bersama mantan rekan kerjanya, Martin Lorentzon yang juga mengalami masalah depresi yang sama dengan Ek.
Setelah masa inkubasi yang cukup panjang itu, tahun 2005 Ek dan Lorentzon memutuskan untuk bekerja sama dan memulai bisnis lagi. Ya, dari sini Spotify lahir.
Di penghujung 1990, industri musik di Swedia mengalami krisis. Pembajakan marak terjadi di mana-mana. Apalagi dengan masuknya situs Napster. Kaum muda Swedia bisa mendapatkan musik yang mereka suka secara gratis dan cepat. Bahkan beredar tren untuk download musik secara ilegal ketimbang membeli.
Kemunculan Pirate Bay makin memperparah kondisi itu. Pembajakan terjadi makin masif. Hampir semua kaum muda Swedia berpartisipasi dalam aksi pembajakan musik ini. Parahnya lagi, tahun 2006 kedua calon perdana menteri Swedia menyatakan tak akan mempidana siapa pun yang mengunduh musik. Secara tidak langsung pernyataan ini mendukung aksi pembajakan yang pada awalnya saja sudah menjangkiti masyarakat.
Berulang kali, EK bertanya pada dirinya, “Bagaimana cara membuat orang membayar untuk mendapatkan musik, sementara hal itu bisa dilakukan dengan mengunduhnya?”
Akhirnya Ek dan Lorentzon mengumpulkan beberapa orang untuk membangun Spotify. Langkah pertama yang diambil Ek adalah bekerja sama dengan label rekaman. Percaya diri akan berhasil, ia berusaha menghubungi label-label besar di dunia. Sayangnya, ia ditolak mentah-mentah. Tak patah arang, Ek memutuskan untuk fokus pada label rekaman di Eropa. Nasib serupa harus ia terima. Ia pun ditolak.
Semenjak berdiri tahun 2006, Spotify tidak memperoleh keuntungan. Perusahaan musik tidak ada yang mau bekerja sama dengan Ek. Bahkan Ek rela tidur di depan kantor perusahaan-perusahaan itu. Menunggu mereka menyetujui bekerja sama dengan Spotify. Usahanya membuahkan hasil. Tahun 2008, memperoleh persetujuan kerja sama setelah Ek mendemonstrasikan layanan musik streaming miliknya. Dengan cepat Spotify mampu merambah beberapa negara Eropa lainnya, Skandinavia, Inggris, Perancis dan Spanyol.
Beberapa bulan setelahnya, para jaksa di Swedia dengan dukungan industri musik internasional berhasil menyeret Pirate Bay ke pengadilan dan akhirnya pemerintah Swedia mengesahkan undang-undang anti-pembajakan. Usaha Ek memberikan musik yang legal akhirnya membuahkan hasil.
Berawal dari sebuah kantor kecil yang disewa oleh Ek dan rekan-rekannya, kini Spotify menjadi perusahaan yang besar. Sejak 2012, kantor Spotify pindah ke Stockholm. Di gedung perkantoran itu, Spotify menyewa tiga lantai sekaligus, dan perlahan-lahan menjadi perusahaan paling besar di gedung itu.
Di kantornya, Ek dikenal sebagai orang yang ramah dan sabar. Bahkan Jonathan Forster, pegawai awal Spotify yang sekarang sudah menjabat sebagai manajer menyatakan hal yang serupa. Ia hanya dua kali melihat Ek marah, yakni ketika mengetahui sikap tidak menyenangkan dari orang-orang yang bekerja di bidang iklan. Lepas dari itu semua, Ek dikenal tidak sombong.
Spotify berhasil melambungkan nama Ek. Berkat Spotify, kekayaan Ek ditaksir mencapai $400 juta. Tidak hanya di Spotify. Selain melawan pembajakan, aksi moral Ek terus berlanjut hingga kini. Ia pun aktif dalam berbagai kegiatan amal.
Ia menyumbangkan satu juta Krona (mata uang Swedia) dan lebih dari dua juta yang ia hasilkan bersama rekan-rekannya untuk organisasi Charity Water. Charity Water adalah organisasi yang bertujuan memberikan air bersih kepada masyarakat di berbagai belahan dunia.
Bagi Ek, Spotify akan mengubah wajah musik dunia. “Saya pikir kita sedang berada dalam masa transisi. Mengapa harus merilis album dengan cara seperti 10 tahun lalu? Musik saat ini tidak lagi dibatasi oleh bentuknya saja.” ujar Daniel Ek, CEO Spotiy.
Penulis: Patardo