WWW.SINYALMAGZ.COM – Tragedi tsunami yang terjadi di kawasan Selat Sunda mengingatkan lagi bahwa kita selalu tak siap menghadapi bencana alam yang lekat dengan Indonesia itu. Bencana bisa diantisipasi, namun pemahaman maupun kesiapan perangkat pendukung seringkali diabaikan.
Kata kunci yang belakangan paling menguak pasca terjadinya tsunami Selat Sunda adalah perangkat deteksi dini tsunami.
BMKG mengaku hanya menyiapkan perangkat yang bekerja berdasarkan picuan gempa tektonik. Sementara peristiwa tsunami Sabtu malam (22 Desember) justru bukan akibat tektonik.
Kiranya kesiapan perangkat menjadi hal paling prioritas saat ini, mengingat frekuensi bencana yang semakin sering terjadi. Lalu, bagaimana perangkat yang paling memadai dan sesuai dengan kebutuhan maupun pendanaan di Indonesia untuk melakukan peringatan dini berbagai jenis bencana alam?
SINYALMAGZ bertemu dengan seorang peneliti lulusan Curtin University Australia, Dr. Ir. Prihadi Murdiyat, MT. yang bertahun-tahun melakukan penelitian tentang wireless sensor network (WSN).
Penelitiannya bahkan bisa menjawab akan banyak persoalan di luar bencana alam seperti tsunami, tanah longsor, kekuatan jembatan, dll.
Dr. Ir. Prihadi Murdiyat, MT., peneliti perangkat jaringan sensor nirkabel untuk pendeteksi dini tsunami.
Bisakah diceritakan peralatan sensor deteksi dini tsunami di Indonesia beserta kondisinya?
Saat ini, sistem peringatan dini bahaya tsunami yang dimiliki oleh BMKG sebagai badan otorita pemerintah mengandalkan sensor seismograf, GPS, dan tide gauge.
Seismograf dipasang di 200 stasiun seismik yang ada di wilayah Indonesia. Dari 200 stasiun tersebut, 116 stasiun tergabung dalam jaringan Libra milik Indonesia, 17 stasiun milik Jepang (jaringan Jismet), 21 stasiun milik Jerman (GFZ), 10 stasiun milik China (jaringan CEA), dan 6 stasiun CTBTO. Sementara itu, 27 buah stasiun yang masing-masing dilengkapi dengan sensor GPS and tide gauge dioperasikan oleh BAKOSURTANAL.
Untuk mendeteksi datangnya tsunami, BMKG mengandalkan data gempa, perubahan ketinggian air laut sebagai akibat dari gempa, serta posisi di mana ketinggian air laut diukur. Masing-masing variabel fisik tersebut secara berurutan diukur oleh seismograf, tide gauge, dan GPS.
Setelah diukur, data yang dihasilkan segera dikirim ke kantor BMKG untuk dianalisa model matematisnya dengan menggunakan komputer. Hasil analisa dapat keluar dalam waktu 2 menit, kemudian akan dievaluasi oleh tim ahli di sana paling lama 5 menit. Jika hasil analisa dianggap valid, peringatan bahaya disampaikan pada masyarakat melalui berbagai media.
Kemungkinan besar kondisi peralatan tersebut cukup terawat, karena digunakan secara intensif.
Sistem ini cukup memadai untuk mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh perubahan permukaan bumi akibat gempa yang sangat kuat seperti halnya di Gorontalo dan Palu. Namun, sistem ini tidak bisa mendeteksi tsunami yang ditimbulkan oleh sebab lain. Tsunami di Selat Sunda, misalnya, diakui oleh ketua BMKG tidak dapat dideteksi oleh sensor yang ada.
Selain itu, sensor-sensor yang terpasang pada buoy juga pernah ditempatkan di beberapa wilayah perairan Indonesia. Sensor bantuan luar negeri ini dipasang untuk menjadi bagian dari sistem peringatan dini setelah terjadinya tsunami besar yang menimpa Aceh dan daerah lainnya. Namun karena kendala teknik dan biaya, buoy ini tidak digunakan lagi.
Bagaimana dengan di luar negeri sebagai perbandingan?
Amerika Serikat mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk membangun sistem peringatan dini terhadap gempa bumi dan tsunami. Stasiun-stasiun seismik dibangun di berbagai negara bagian. Semakin rawan suatu wilayah, semakin banyak stasiun yang dibangun.
Untuk sensor peringatan dini tsunami, Amerika Serikat juga mengandalkan sensor-sensor yang di pasang di wilayah perairannya, yaitu di dasar laut Pasifik dan Atlantik/Karibia. Jaringan sensor yang diberi nama The Deep-ocean Assessment and Reporting of Tsunamies (DART) ini dapat mengukur perubahan-perubahan tekanan air di bawah laut yang dapat menjadi indikasi adanya tsunami.
DART terdiri dari unit bottom pressure recoder (BPR) dan buoy. Unit BPR berfungsi untuk mengukur tekana air di bawah permukaan laut. Karena terletak di bawah air, BPR tidak bisa menggunakan sinyal radio untuk berkomunikasi langsung dengan stasiun di darat. Oleh karena itu, BPR mengirimkan data ke buoy yang terletak di permukaan laut dengan menggunakan sinyal suara. Selanjutnya transceiver yang dipasang pada buoy mengirim data ke kantor pusat dengan menggunakan komunikasi satelit.
Jepang merupakan negara yang mempunyai sistem peringatan dini paling canggih di dunia. Jumlah sensor per satuan luas di negara itu sangat padat dibanding negara-negara lain. Alasannya, wilayah yang rawan gempa dan tsunami di Jepang sangatlah luas. Banyaknya pemukiman yang terletak di daerah rawan menyebabkan tiap hitungan detik untuk mengeluarkan peringatan sangatlah berarti. Untuk peringatan dini tsunami, Jepang juga menggunakan buoy yang dipasang di wilayahnya, di laut Pasifik. Jepang juga menggunakan data yang hasilkanoleh buoy DART milik Amerika Serikat.
Berbeda dengan sistem peringatan dini di kedua negara maju tersebut, sistem peringatan dini yang jauh lebih sederhana dan murah dipasang di Vanuatu. Walaupun lebih sederhana dan murah, sistem peringatan dini yang dikembangkan oleh Flinders University Australia ini terbukti mampu mengirimkan peringatan tsunami dalam waktu 11 detik saat dilakukan uji coba. Sistem ini tetap dapat mengirim pesan bahaya ketika infrastruktur komunikasi seperti BTS rusak. Ini dimungkinkan karena penyebaran informasi dilakukan dengan menggunakan media penerima TV satelit dan pemancar FM mini.
DART (The Deep-ocean Assessment and Reporting of Tsunamies) yang digunakan di Australia
BAGAIMANA MODEL YANG SESUAI UNTUK INDONESIA?