MASIH banyak pembenahan yang harus dilakukan pemerintah, walau program registrasi sudah dianggap selesai dan berhasil, dan konon mendapat acungan jempol. Teknologi telekomunikasi tidak akan berhenti dan siklusnya makin lama makin pendek, sehingga bahkan teknologi yang baru saja diperkenalkan langsung terlibas teknologi baru.
Teknologi komunikasi kabel yang berusia lebih dari 150 tahun tiba-tiba saja harus mundur ketika teknologi seluler muncul di dekade 80-an, walau proses kematian kabel tidak tiba-tiba bahkan kini muncul lagi dengan dimanfaatkannya serat optik. Teknologi seluler analog yang disebut generasi pertama (1G) bertahan sekitar delapan tahun, dilibas oleh digital pada awal dekade 90-an yang disebut generasi 2 (2G) yang masih juga bertahan sampai kini, menyediakan layanan suara dan SMS.
Generasi lanjut berlangsung agak lama dengan 3G di awal tahun 2004 lalu 3,5G, kemudian ada yang menyebut 3,75G, sampai muncul generasi keempat (4G). Beda dengan 2G yang masih dimanfaatkan hingga masa 4G LTE (long term evolution) kini, 3G terhempas begitu saja karena orang bermigrasi dari 2G langsung ke 4G.
Lompatan yang signifikan, sebab 3G dianggap usang, lebih mahal secara unit dibanding 4G, kecepatannya pun rendah meski harga sama dengan LTE. Teknologi 4,5G memperkenalkan CA (carrier aggregation) dan 4T4R, menggabungkan beberapa frekuensi yang menghasilkan kecepatan unduh sampai 150 megabit per detik (mbps).
Saat ini kenikmatan pelanggan dalam berselancar masih tergantung pada sedikit-banyaknya pengguna ponsel yang sama di satu area atau satu cakupan BTS. Namun secara umum, pelanggan menikmati kecepatan unduh yang sekitaran 3,27 mbps sampai 10 mbps.
Masalah terbesar yang dihadapi operator dalam melayani pelanggannya, kelangkaan lebar frekuensi. Ada enam operator seluler, Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Tri, Smartfren dan Sampurna dilayani sementara pita yang tersedia hanya selebar 250 MHz. Masih belum cukup, apalagi jumlah pelanggan terus bertambah.
Telkomsel menjadi yang terbesar dengan pemilikan selebar 82,5 MHz, disusul Indosat 47,5 MHz, XL Axiata 45 MHz, Smartfren 35 MHz, Tri 25 MHz dan Sampurna 15 MHz. Bayangkan lebar frekuensi sama hanya digunakan oleh tiga operator seperti di China, boleh dikata foya-foya walau pelanggan mereka sekitar 900 juta orang.
Kawasan Bisnis Padat
Ada frekuensi-frekuensi yang masih terbuka, seperti di spektrum 700 MHz yang saat ini masih dikuasai operator televisi siaran selebar 336 Mhz yang sedang dalam proses migrasi dari sistem televisi analog ke digital. Setelah berdigital, kebutuhan stasiun televisi hanya separuhnya, 168 MHz, dan sisanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Rencananya tahun ini atau tahun 2019, dari 168 MHz yang tersisa akan digunakan sebanyak 56 MHz untuk siaran pendidikan dan peringatan bencana, dan 112 MHz sisanya akan dilelang. Menkominfo Rudiantara menolak anggapan bahwa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari lelang frekuensi menjadi tujuan pembukaan frekuensi baru, dan PNBP Kemkominfo tahun 2017 dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi mencapai Rp 20 triliun.
Jika dibagi rata 112 MHz untuk 6 operator, masing-masing dapat kurang dari 20 MHz, lumayan, tetapi tetap tidak cukup. Hanya saja sesuai sifat naturalnya, spektrum rendah punya kemampuan jangkauan lebih luas sehingga tetap saja 700 MHz akan bermanfaat bagi operator.
Contohnya, Sampurna Telecom memiliki 15 MHz di spektrum 450 MHz dan itu dimanfaatkan di kawasan pedesaan yang jarak antara konsumen dengan BTS terjauh bisa sampai 100 kilometer. Untuk frekuensi 900 MHz, biasanya radius cakupan mencapai 2 km di tanah yang datar tetapi dengan penempatan BTS di menara ketinggian 72 meter cakupannya dapat sampai lima kilometer.
Namun spektrum tinggi menang di kapasitas untuk satu area yang sama dengan spektrum rendah karena bisa memanfaatkan kembali frekuensi (re use) berkali-kali di berbagai BTS seberang. Telkomsel dan Smartfren beruntung punya pita selebar 30 MHz di spektrum 2300 MHz yang sangat pas untuk kawasan bisnis padat.
Kalau saja konsolidasi, akuisisi atau merger antarsedikitnya 3 operator terjadi, kekurangan frekuensi akan teratasi.
Kepemilikan frekuensi yang lebar juga menjadi salah satu syarat operasional generasi kelima (5G), selain ada dukungan serat optik. 5G ini bisa saja dioperasikan di spektrum 3,5 GHz yang rentangnya lebar, namun spektrum ini masih digunakan untuk transmisi satelit. Paling ideal adalah spektrum 2,8 GHz yang tidak digunakan lagi untuk operasional radio gelombang mikro (microwave).
Sasaran 5G bukan ke pelangan perorangan tetapi lebih untuk kawasan industri dan pabrik-pabrik yang menggunakan mesin-mesin besar yang saling terkoneksi berkecepatan sangat tinggi, dengan biaya lebih rendah. Kecepatan puncak layanan 5G sampai 20 gigabit per detik (20.000 mbps), pada setiap kilometer persegi cakupan BTS-nya, satu juta perangkat dapat terkoneksi. ***