KETIKA dunia sedang sibuk menyambut kedatangan komersialisasi teknologi generasi kelima (5G) semester kedua tahun ini, Indonesia masih berkutat bagaimana memperbaiki jaringan dan mutu layanan generasi keempat (4G) LTE. Apalagi, teknologi 5G bukanlah sambungan dari teknologi 4G seperti halnya dari 2G ke 3G lalu ke 3,5G dan 4G LTE.
Teknologi 5G meskipun bisa menggunakan spektrum yang sama dengan teknologi 4G, namun syaratnya lebar pita frekuensi yang dimiliki operator harus memadai. Dan itu tidak ada di spektrum 800 MHz, 900 MHz, 1800 MHz dan 2,1 GHz atau juga 2,3 GHz, yang karena dibagi ke banyak operator, masing-masing memiliki lebar yang kurang memadai.
Spektrum yang cocok untuk layanan 5G ada di 2,6 GHz sampai 3,5 GHz atau di atasnya, bisa sampai 28 GHz. Karakteristik spektrum yang makin tinggi cakupannya makin pendek, membuat pemasangan BTS (base transceiver station) pun makin banyak untuk satu area.
BTS yang rapat membuat perangkat yang terhubung di radius satu kilometer persegi mencapai satu juta unit, sementara 4G maksimal hanya 100.000. Kapasitas yang tinggi membuat kecepatan unduh dan unggah pun jauh lebih tinggi dibanding teknologi 4G, dengan perbandingan satu Gbps (gigabit per detik) banding 20 Gbps untuk 5G.
Di tingkat pengguna, kecepatan data hanya 10 megabit per detik (mbps), sementara 5G bisa 100 Mbps, sementara latensi, interval waktu, satu milidetik banding 10 milidetik di 4G. Semua ini membuat biaya yang akan ditarik oleh operator menjadi tinggi, lebih dari 10 kali lipat tarif 4G, belum lagi kalau lelang spektrum akan memunculkan harga yang tinggi.
Tarif yang tinggi walau kecepatan yang dihadirkan tinggi, membuat pelanggan perorangan, ritel, bukan sasaran operator. Sasaran mereka lebih ke pelanggan korporat atau komunitas.
Kendala kendala ini menyebabkan komersialisasi 5G di Indonesia masih akan terjadi sekitaran tahun 2022 atau lebih lama lagi. Sementara di China, Korea, Jepang, Amerika dan sebagian Eropa sudah memulainya pertengahan tahun ini, sejalan denagn tersedianya perangkat 5G untuk pelanggan.
Saat ini operator seluler di Indonesia lebih fokus memperbaiki dan memperluas jaringan 4G, karena tidak semua BTS mereka sudah menggendong teknologi 4G LTE, masih dibebani pelanggan 3G, terutama pelanggan 2G yang hanya memanfaatkan suara dan SMS.
Beberapa negara, semisal Singapura sudah menutup layanan 2G dan memperbesar layanan 4G, sebagian negara lain sambil memutus 2G sekalian tidak mengembangkan 3G yang dianggap sebagai teknologi yang tidak berkembang, kalah cepat oleh 4G. Di Indonesia dari 40 persen jumlah pelanggan masih menggunakan jaringan 2G, bahkan sebagian besar mereka sudah menggunakan ponsel pintar.
Prioritas luar Jawa
Pelanggan berponsel pintar masih bertuji (2G), antara lain karena memang BTS di sekitar mereka masih ada BTS 2G, paling banter BTS 3G, belum BTS 4G. Operator rata-rata mengakui, mereka belum memodernkan BTS-nya menjadi BTS 4G karena pelanggan 2G masih memberi kontribusi lumayan pada pendapatan mereka, terutama di luar Jawa.
Saat ini mayoritas operator sedang berupaya menambah BTS 4G di jaringan lama maupun jaringan perluasan mereka. Misalnya XL Axiata, sepanjang 2018 membangun BTS baru sebanyak 13.200 buah menjadi 118.596 buah, dengan memprioritaskan pembangunan di luar Jawa.
Telkomsel membangun 20.000 lebih selama 2018 menjadi 188.000 dengan prioritas memanfaatkan frekuensi 2300 MHz sehingga BTS-nya bisa lebih rapat di kawasan bisnis. Sementara Indosat yang pertumbuhan jumlah pelanggan negatif selama tahun itu, hanya membangun sekitar 2.500 BTS. Tahun 2019 ini Indosat yang akhir tahun memiliki 68 ribuan BTS hanya akan membangun 4.300 BTS baru, kebanyakan untuk 4G.
Pembangunan BTS baru, selain memperapat BTS di kawasan bisnis, juga akan difokuskan untuk memperluas jaringan. Dari seluruh operator seluler di Indonesia memang hanya Telkomsel yang menggelar jaringan sampai ke pedesaan, yang akan disusul oleh XL Axiata.
Sementara operator lain masih berkutat di Pulau Jawa dan sebagian Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Wilayah luar Jawa masih dianggap wilayah yang secara ekonomi masih belum menjanjikan, yang bahkan sebagai di antaranya yang berupa kawasan 3 T: terluar, terdepan dan tertinggal.
Untuk akses internet ke kawasan 3T ini pemerintah lewat Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi), Kementerian Kominfo, akan membangun lebih dari 7.000 BTS dalam dua tahun ini. Layanan ini akan didukung oleh jalur serat optik Palapa Ring dan dua tahun lagi ditambah prasarana satelit HTS (high throughput satellites) yang bisa menyuguhkan kecepatan sampai 150 Mbps yang dapat menjangkau seluruh wilayah.
Walaupun rata-rata pada tiga operator papan atas tahun 2019 ini akan mengucurkan biaya modal sampai sekitaran Rp 7 triliun yang sebagian besar untuk perluasan jaringan, kecepatan unduh dan unggah mereka masih rendah dibanding rata-rata negara tetangga.
Dari lima operator temasuk Smartfren dan Hutchison Tri Indonesia (Tri), kecepatan rata-rata terbaik memang di Smartfren yaitu unduh 14,8 Mbps, unggah 4,66 Mbps, dan terendah Tri dengan unduh dan unggah 3,15 Mbps dan 3,44 Mbps, lalu Indosat 3,63 Mbps dan 2,95 Mbps, XL Axiata 6,68 Mbps dan 5 Mbps, serta Telkomsel, 8,06 Mbps dan 5,8 Mbps.
Bandingkan kecepatan unduh dengan misalnya Thailand yang 10,7 Mbps, Filipina 11,2 Mbps, Vietnam 21,9 Mbps, Myanmar 23 Mbps, Singapura 42 Mbps dan Korea yang rerata pada saat puncak mencapai 55,7 Mbps. ***