ASOSIASI Penyelenggara Telepon Seluler (ATSI) menyatakan secara prinsip mendukung penuh regulasi mengenai tata kelola IMEI (international mobile equipment identification) yang tujuannya menghindari kerugian akibat masuknya ponsel illegal. Namun organisasi para operator seluler itu memberi 10 poin masukan, yang nada-nadanya “harus ada negosiasi antara pemerintah dan operator” sebagai syarat dukungan.
Ketua Umum ATSI, Ririek Ardiansyah yang juga Direktur Utama PT Telkom Selasa (24/9) petang menyampaikan 10 poin masukan didampingi Wakil Ketua ATSI Merza Fachys, Sekjen Marwan Baasir, serta direktur utama dan petinggi seluruh operator seluler Indonesia. Di antaranya Dirut PT Telkomsel Emma Sri Martini, Direktur Teknologi XL Axiata Yessy D Yosetya, Direktur PT Indosat Ooredoo Arief Mustain, Wakil Dirut PT Hutchison Tri Indonesia Danny Buldansyah dan dari iNet.
Ririek Ardiansyah menyebut salah satu point masukan, enggannya operator dibebani investasi untuk pengadaan alat EIR (equipment identification register) karena harganya cukup signifikan. Inisiatif IMEI bukanlah merupakan kewajiban dalam lisensi operator, dan “Kami harap investasinya tidak dibebankan seluruhnya ke operator seluler.”
Menurut Sekjen ATSI, Marwan Baasir, dari kebijakan validasi IMEI ini operator tidak mendapat keuntungan walau satu rupiah. “Yang dapat benefit, yang mendapatkan pajak dari ponsel yang tadinya ilegal,” katanya.
Catatan SinyalMagz, investasi yang harus ditanggung oleh PT XL Axiata untuk perangkat EIR, misalnya, dengan 56,7 juta pelanggan adalah sebesar 40 juta dollar AS, atau sekitar Rp 570 miliar. Kalangan ATSI berharap biaya ini ditanggung oleh pihak yang diuntungkan oleh adanya kebijakan validasi IMEI.
Pajak lolos Rp 2,8 triliun
Selama tahun 2018, dari 45 juta unit ponsel pintar baru yang masuk pasar Indonesia, sekitar 20 persen atau 9 juta merupakan posel selundupan, ilegal, yang umum disebut ponsel BM (black market). APSI, Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia menghitung, jika rata-rata harga ponsel pintar Rp 2,5 juta, maka potensi kerugian negara akibat pajak yang tidak terbayar berupa 10 persen PPN dan 2,5 persen PPH, sejumlah Rp 2,8 triliun.
Negara dianggap paling diuntungkan dari kebijakan validasi IMEI, namun pedagang ponsel legal, juga merek-merek ponsel lokal, semisal Advan dan Cross, juga akan diuntungkan. Selama ini manufaktur ponsel lokal terengah-engah bersaing dengan ponsel pintar BM, karena harganya lebih rendah dibanding ponsel lokal pada kelas yang sama.
Selain soal EIR, masukan ATSI juga soal kebijakan yang sebaiknya berlaku untuk perangkat seluler baru, tidak untuk (walaupun BM), ponsel lama. Demikian pula aturan validasi IMEI tidak diberlakukan kepada “inbound roamer”, para turis luar negeri.
Namun bahwa masyarakat diuntungkan, diakui oleh ATSI dan operator akan memproses pelaporan perangkat seluler yang hilang atau dicuri agar tidak disalahgunakan oleh pengguna lain. Data ponsel hilang atau dicuri akan diteruskan ke sistem pengendali.
ATSI juga melihat perlunya pemerintah menunjua kementerian terkait – Kominfo, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan – untuk membangun dan menyediakan “call center” dan layanan pelanggan. Selain karena bukan tugas pokok dan fungsi operator, pihaknya juga tidak memiliki data serta mengekseskusi jika ada keluhan-keluhan pelanggan soal notifikasi dari pengendali sistem IMEI. Misalnya dinyatakan IMEI ponsel pelanggan tidak terdaftar, atau kesulitan ketika mengaktifkan ponsel yang dibeli dari luar negeri.
Peraturan tiga menteri, yang diharapkan segera bisa ditandatangani sebaiknya berupa aturan generik saja, hanya menjadi payung hukum dan hal teknis yang detil sebaiknya berbentuk peraturan dirjen. Penyusunan detil dilakukan bersama pemerintah dan operator, memberi kesempatan para pemangku kepentingan memasukkan usulan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masing-masing. ***