Tepuk tangan membahana ketika Ooredoo dan Hutchison sepakat menggabungkan perusahaan mereka di Indonesia menjadi Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) dengan transaksi sebesar US$ 6 miliar atau sekitar Rp 85,5 triliun. IOH akan menjadi operator terbesar kedua dengan jumlah pelanggan 104 juta dan pendapatan tahunan Rp 42 triliun lebih.
Mereka meninggalkan XL Axiata yang pelanggannya 56,7 juta dan pendapatan Rp 26 triliun. Masih jauh dari Telkomsel yang pelanggannya 169,1 juta dan pendapatan Rp 89-an triliun.
Di IOH, Kelompok Ooredoo punya saham yang sama dengan sebelum merger, 65%, sementara Pemerintah RI yang semula punya 14% lebih, tinggal hanya 9,6%, Hutchison memiliki 10,8% dengan hak jabatan direktur keuangan, dan pihak lain sekitar 14%.
Merger, akuisisi, punya sejarah kelam, ketika XL Axiata mengakuisisi Axis dengan membeli semua saham milik Saudi Telecom, tetapi pemerintah mengambil 10 MHz spektrum frekuensi mereka. Kelam dari segala sisi, yang bisa saja terjadi dalam proses merger Indosat – Tri, bila hal-hal spesifik tidak ditangani dengan baik sejak awal.
Merger dua perusahaan yang bisnis utamanya sama, tetapi cara menjalankan perusahaan beda, bisa menimbulkan keresahan dari sisi karyawan, juga pelanggan. Ibarat bisnis penerbangan, Indosat Ooredoo adalah penerbangan dengan layanan penuh, full service, sementara Tri adalah LCC (low cost carrier), minimalis.
Pelanggan Tri belum tentu nyaman dengan sistem pengaturan tarif yang berlaku di Indosat meski mereka lalu bisa menelepon dari mana saja karena ikut jaringan Indosat. Selama ini di mana ada jaringan Indosat belum tentu ada jaringan Tri, karena jumlah BTS dan kawasan cakupannya, Indosat lebih unggul.
Perebutan pelanggan Tri
Sebanyak 44 juta pelanggan Tri yang 90% anak muda, seperti halnya pelanggan Smartfren, dimanjakan dengan tarif murah dan berbagai kemudahan, sangat sensitif pada tarif. Dengan mudah mereka akan pindah operator yang tarifnya lebih murah, tidak peduli pada banyaknya kepemilikan BTS.
Pengalaman XL Axiata pasca akuisisi, jumlah pelanggan yang semula naik dengan adanya tambahan dari pelanggan baru Axis, mengalami penurunan besar. Bahkan mendekati jumlah pelanggan sebelum akuisisi, karena adanya kekurangnyamanan.
Pelanggan Axis diperebutkan oleh operator tersisa, yang dapat berkah terutama Tri saat itu. Jangan-jangan proses merger kali ini jadi “jebakan batman”, perebutan atau eksodusnya pelanggan Tri ke Smartfren yang program kemurahan yang sama dengan Tri.
Karyawan Tri dijanjikan mendapat jabatan yang sama dengan kompetensinya yang justru akan menimbulkan persoalan lain, terjadinya penumpukan SDM di semua lini, baik teknik maupun bagian pendukung, juga penjualan dan pemasaran. Hingga saat ini saja Indosat Ooredoo sudah melepaskan lebih dari seribu karyawan dalam sedikitnya dua tahap, karena dirasa sudah kelebihan karyawan.
Duplikasi akan terasa, karena BTS-BTS milik Tri akan bergabung ke BTS Indosat, dan akan terjadi penyusutan tenancy (pengguna) para penyedia menara akibat perpindahan. Demikian pula soal pengelolaan perawatan (manage service), Huawei akan kehilangan pendapatan dari perawatan 44.000 BTS milik Tri, karena Indosat menggunakan jasa Ericsson.
Karyawan ex-Axis memang diterima bekerja di XL Axiata dengan satu asesmen. Tetapi dari ratusan karyawan yang diterima, kabarnya kini tinggal 5 sampai 10 orang saja yang masih bertahan.
Masalah klasik, budaya dan suasana kerja, selain rasa rendah diri karena bisa saja dianggap “tamu yang mengambil rezeki tuan rumah (Indosat)”, membuat karyawan-karyawan ex-Tri bisa jadi tidak betah. Pelanggan IOH tahun depan pun jadinya mungkin hanya akan sekitar 80-an juta.
Hanya Rp 190 miliar
Soal spektrum frekuensi, apakah terbawa ke perusahaan baru, masih menimbulkan pertanyaan. Namun pasal 33 ayat (6) UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 menyebutkan, operator seluler dapat mengalihkan spektrum frekuensi radio ke operator lain setelah mendapat persetujuan pemerintah.
Menteri Kominfo Johnny G Plate menyatakan akan mengevaluasi soal alokasi spektrum setelah proses merger selesai. Katanya, UU Cipta Kerja mendorong efisiensi pemanfaatan sumber daya spektrum, sharing infrastruktur dan tata kelola tarif.
Dengan merger, Indosat Ooredoo Hutchison akan memiliki spektrum selebar 72,5 MHz, dengan pelanggan 104 juta. Sebagai perbandingan, XL Axiata punya 45 MHz dengan 56,7 juta, Telkomsel menguasai 82,5 MHz dengan 169,1 juta pelanggan.
Beda mencolok, Telkomsel lewat induknya, PT Telkom, menyetor dividen plus berbagai pajak, setahun sekitar Rp 25 triliun sampai Rp 30 triliun, Rp 19 triliun di antaranya murni dari laba Telkomsel. Pendapatan Indosat Ooredoo tahun 2020 mencapai hampir Rp 28 triliun dengan kerugian Rp 131,9 miliar, Tri sekitar Rp 7 triliun, dan pendapatan Indosat semester 1 tahun 2021 sebesar Rp 14,9 triliun dengan laba Rp 1,03 triliun.
Taruh pendapatan Indosat Ooredoo Hutchison melejit menjadi Rp 42,8 triliun dengan keuntungan Rp 2 triliun, setoran ke Pemerintah RI yang punya 9,6%, dari dividen Rp 190 miliar ditambah berbagai pajak sekitar Rp 500 miliar. Berkaitan dengan efisiensi pemanfaatan sumber daya spektrum, apakah pemerintah tidak gerah dengan perbandingan pelanggan, setoran dan spektrum di antara kedua operator.
Namun perlu juga diperhitungkan, tahun 2022 pemerintah akan melelang frekuensi, selebar 115 (bersihnya 90 MHz) di spektrum 700 MHz, dan 1.000 MHz di spektrum 26 GHz dan 35 GHz. Bisa jadi di sini pemerintah akan menyeimbangkan efisiensi sumber daya spektrum untuk Indosat Oordeoo Hutchison dan untuk Telkomsel. ***