Teknologi telekomunikasi yang namanya MOCN (multi operator core network), menggunakan bersama spektrum frekuensi beberapa operator, ternyata menjadi solusi jitu bagi operator seluler ketika akan bergabung (merger). Setidaknya itu dibuktikan IOH (Indosat Ooredoo Hutchison), yang semula dua operator, Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia (Tri), yang justru berhasil dalam segala hal.
Padahal pengalaman banyak operator dunia yang melakukan merger, sebagian besarnya gagal. Kalaupun berjalan terus, kondisi operator gabungan itu umumnya justru terseok-seok terbebani banyak masalah yang merugikan secara finansial, turunnya jumlah pelanggan secara signifikan dan larinya karyawan karena suasana kantor gabungan yang kurang kondusif.
Keberhasilan IOH mengelola perusahaan merger membuat dunia kagum. Dalam konferensi GSMA (Global System for Mobile Assocoation) di Barcelona Februari 2022 lalu, IOH membagikan pengalamannya kepada semua petinggi operator GSM yang hadir. Padahal sebelum IOH eksis, operator GSM di Malaysia dan Hongkong pernah melakukan merger pada 2012 dan 2013.
Di Indonesia, lebih dari satu dekade lalu XL Axiata mengakuisisi Axis yang ditinggalkan investornya, Saudi Telecom. Berdasar pengalaman banyak operator dunia, manajemen puncak XL Axiata sudah memprediksi akan terjadinya hal-hal negatif tadi.
Mereka pun mengalami masalah keuangan hingga beberapa tahun setelah akuisisi – pengambil alihan – Axis, bahkan sampai pada tingkat merugi, walau ada juga penyebab lainnya. Sekitar 2 kanal (10 MHZ) di spektrum 2,1 GHz diambil pemerintah, dan jumlah pelanggan yang berkurang drastis. Juga karyawan ex-Axis yang masuk ke XL Axiata banyak yang keluar karena tidak nyaman di entitas baru, sepertinya merasa sebagai “orang asing yang cari makan”.
Sebagai pengamat telekomunikasi, saya – seperti halnya banyak analis – memang pesimis terhadap hasil merger antara Indosat Ooredoo dan Tri. Apalagi dalam proses awalnya terjadi beberapa kali penundaan.
Solusi efisiensi
Pesimisme juga didukung kenyataan bahwa regulasi tentang MOCN belum ada di Indonesia, sehingga digunakanlah “kebiasaan” yang sudah terjadi. Pemerintah mengambil spektrum frekuensi operator baru tadi, lalu dilelang ke operator lain yang dimenangkan oleh Telkomsel.
Alasannya klasik, jumlah pelanggan dan jumlah kepemilikan spektrum frekuensi operator yang merger masih lebih lebar dibanding operator lain di Indonesia. Sehingga dengan diambilnya sebagian sebagian frekuensi, keadaan menjadi seimbang.
Singkat ceritera, di tahun 2021 kedua entitas sepakat, regulator setuju dan penggabungan dimulai awal tahun 2022. Jadilah nama operator baru tadi Indosat Ooredoo Hutchison, yang kini dikenal dengan IOH. Tidak banyak waktu, tak sampai setahun, pada akhir 2022 IOH tampil dengan berbagai keberhasilan.
MOCN yang mereka gunakan memungkinkan beberapa operator berbagi spektrum frekuensi di level RAN (radio access network) sehingga mereka dapat menggunakan sumber daya dalam jaringan BTS yang sama. Ini yang dilakukan ketika IOH saat mengintegrasikan BTS milik kedua operator.
MOCN lalu menjadi tren pada kondisi saat ini dan menjadi bagian strategi mengembangkan bisnis mereka, sebagai solusi efisiensi pengeluaran operator. Dalam pelaksanaan sistem MOCN, terjadi pertumbuhan jaringan ke daerah yang jarang penduduk dan yang belum tercakup layanan kedua operator.
Gotong royong
Perluasan cakupan ini berdampak pada pertumbuhan GDP (gross domestic product) serta pendapatan fiskal bagi negara. Integrasi BTS membuka kesempatan untuk meluas kan jaringannya dengan biaya yang lebih efisien.
Kata Presdir dan CEO IOH, Vikram Sinha, untuk mengimplementasikan MOCN pihaknya bergotong royong dengan mitra teknologi Nokia, Huawei dan Ericsson, dan mitra-mitra transmisi, core, prasarana menara, dan serat optik.
Hasilnya justru di luar dugaan, integrasi itu membuat jumlah BTS 4G IOH naik dari 120.000 pada akhir 2021 menjadi 180.000 buah pada akhir 2022. Sekaligus BTS yang berteknologi lawas dimodernisasikan dengan BTS berteknologi baru.
Mereka juga mengatur kembali posisi sites BTS yang berdekatan antara kedua entitas merger, yang membuat pengalaman baru bagi pelanggan atau memikat calon pelanggan. Apalagi karena ada beda tarif layanan operator itu dibanding operator lain.
Jumlah pelanggan IOH pun naik 62,5% dari 65 jutaan menjadi 102,2 juta pada akhir tahun 2022, setahun setelah IOH resmi beroperasi. IOH meraup kenaikan pendapatan sebanyak 48,9%, dari Rp 31,4 triliun menjadi Rp 46,8 triliun, lebih tinggi dari perkiraan awal sebesar sekitar Rp 41 triliun.
IOH berhasil meraup laba yang melampaui angka yang pernah terjadi selama dua tahun pada dekade lalu saat masih bernama Indosat Ooredoo yang sekitar Rp 1,04 triliun pada masing-masing tahun. Laba IOH melejit menjadi sebesar Rp 4,7 triliun pada akhir 2022, yang didukung ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) yang naik dari Rp 29.000 menjadi Rp 38.000. *