BERITA media yang menyebutkan penundaan peluncuran satelit multifungsi Satria yang seharusnya 31 Maret 2023, diluruskan Menkominfo Johnny G Plate belum lama ini. Menurut menteri, berita yang bersumber pada https://www.spaceintelreport.com/ yang menyebutkan ITU (International Telecommunication Union) menolak pemintaan pengunduran waktu peluncuran satelit Satria, sudah diralat ITU.
Berita yang benar adalah, ITU ingin ada informasi lebih banyak sebelum menetapkan tenggat untuk satelit Satria Indonesia. “Pertimbangannya akan diputuskan pada rapat ITU berikut, Maret 2021,” kata Menteri Johnny.
Pengunduran jadwal penempatan satelit dalam orbit menurut menteri merupakan hal yang biasa terjadi dalam industri satelit, antara lain karena keadaan kahar (force majeure). Berkaitan dengan kahar itulah ITU meminta informasi tambahan kepada Indonesia sebelum memutuskan kebijakan mereka.
Dikatakan, proses produksi satelit Satria sedang berjalan di pabriknya, Thales Alenia Space (TAS) Paerancis, dengan roket peluncur kelak, SpaceX Falcon 95500. Proses pembiayaan pun sudah disetujui oleh BPI Perancis dan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank), keduanya sudah menyiapkan deposannya bersama PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) yang menyiapkan porsi pembiayaan sendiri.
Sementara, sejak 9 bulan lali, wabah Covid-19 telah mengubah segalanya: perilaku, pendidikan sampai ke bisnis dan ibadah yang kemudian disebut sebagai kenormalan yang baru (new normal). Siapa yang menyangka bahwa orang kemudian diwajibkan bekerja dari rumah, anak sekolah dan mahasiswa melakukan pembelajaran jarak jauh, yang kemudian harus diterima sebagai sesuatu yang normal.
Bagi penduduk Pulau Jawa, Sumatera, sebagian Kalimantan atau pulau-pulau padat lainnya, bekerja atau belajar dari rumah tidak terlalu repot. Jaringan seluler hampir semua operator tersedia, bantuan data dari pemerintah maupun operator boleh dikata melimpah.
Seperti gempa bumi
Namun tidak bagi masyarakat, murid sekolah yang bersekolah dan tinggal di daerah 3T, terluar, terdepan dan tertinggal. Terjadi kesenjangan penyediaan layanan internet antara Indonesia barat dan Indonesia timur, seperti hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) belum lama ini.
Dengan pengguna internet di Indonesia yang sudah mencapai 200 juta orang, sejumlah 56,4 persen ada di Pulau Jawa, Sumatera 22,1 persen sementara Bali-Nusra 5,2 persen dan Maluku-Papua hanya 3 persen. Menurut Ketua APJII, Jamalul Izza, penyebab ketimpangan adalah ketersediaan prasarana internet di daerah-daerah yang sulit terjangkau.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Widodo Muktiyo, menyampaikan, dari 83.218 desa/kelurahan di Indonesia, yang sudah terjangkau layanan seluler generasi keempat (4G) baru 12.548 desa/kelurahan. Dari jumlah tadi sebanyak 9.113 ada di kawasan 3T, sisanya di luar 3T dan ditargetkan pada akhir 2022, semua wilayah tadi sudah mendapat layanan 4G.
Pandemi seperti layaknya gempa bumi, tidak bisa diperkirakan kapan datangnya sejak jauh hari, sementara pembangunan prasarana harus dirancang jauh sebelumnya, seperti kata Menkominfo Johnny G Plate, tidak bisa abrakadabra. Pembangunan jaringan serat optik Palapa Ring oleh Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) Kominfo memang sudah selesai.
Tinggal lagi menyambungkan jaringan tulang punggung itu ke titik akhir, last mile, yang tidak mudah, tidak cepat dan tidak murah. Kendala geografis terutama untuk menyambung ke kawasan 3T menjadi penghalang, selain karena cuaca, bencana alam, juga karena perusakan (vandalisme) dan jauhnya lokasi 3T dari titik labuh (landing point) Palapa Ring.
Upaya yang dilakukan, membangun jaringan gelombang mikro, juga meluncurkan satelit pita lebar (broadband). Hanya cara itu yang bisa mengatasi semua kendala dan meratakan layanan internet ke semua wilayah indonesia.
Sebuah satelit dengan teknologi mutakhir, Satria (Satelit Indonesia Raya) buatan Thales Alenia Space akan diluncurkan Bakti pada tahun 2023, satelit multifungsi HTS (high throughput satellite – satelit kapasitas tinggi). Satelit ini berbeda dengan satelit konvensional, FSS (fixed satellite service – layanan satelit tetap), karena kemampuannya yang tiga kali lebih besar.
Jangkau 150.000 titik
Saat ini Bakti menyewa sembilan satelit, lima satelit nasional dengan kapasitas 30 Gbps (giga byte per second) dan empat satelit asing dengan kapasitas 20 Gbps untuk memberi layanan di kawasan 3T atau keseluruhan hanya 50 Gbps. Sementara Satria yang berkapasitas 150 Gbps akan menjangkau sekitar 150.000 titik di lokasi layanan publik seperti sekolah, kantor desa, puskesmas, kantor polisi dan TNI.
Beda dengan FSS, misalnya satelit Palapa, atau AsiaSat, yang punya footprint yang merupakan satu cakupan, HTS punya cakupan mirip sel di teknologi seluler, yang disebut spot beam. HTS juga menggunakan frekuensi secara berulang (reuse) yang lebih efisien sehingga mampu memberikan kapasitas di atas 100 Gbps.
Spot beam membuat jangkauan Satria mampu mencapai 150.000 titik stasiun bumi yang tidak terjangkau oleh jaringan serat optik yang dipasok Palapa Ring, sehingga kelak tiada kawasan 3T yang tidak terlayani internet, berkecepatan tinggi pula. Proyek ini mendapat jaminan pemerintah sepenuhnya yang menyediakan dana pembangunan BTS dan satelit sebesar Rp 25 triliun sepanjang 2021-2024, seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Raker dengan Komisi XI DPR, 3 September 2020.
Upaya pemerintahan Presiden Jokowi membangun infrastruktur untuk transformasi digital yang kuat dan inklusif demi mengurangi kesenjangan digital ini masih menunggu diluncurkannya satelit Satria pada triwulan 3 tahun 2023, dan pembangunan 150.000 stasiun bumi. Sementara pembangunan serat optik dari titik labuh Palapa Ring ke lokasi BTS di 3T, dan jaringan microwave sedang dalam pengerjaan.
Dalam penanganan pandemi Covid-19, fasilitas layanan kesehatan merupakan garda terdepan. Pemerintah pun berkomitmen mempercepat ketersediaan internet di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) rumah sakit dan puskesmas di seluruh Tanah Air.
Data Kementerian Kesehatan dan desktop analisis Bakti Kemkominfo menyebutkan, masih terdapat 2.949 dari 13.011 fasyankes yang belum terjangkau internet atau memiliki akses namun dengan kapasitas yang belum memadai. Dari target 2.949 itu, hingga November Bakti Kominfo berhasil menghadirkan internet di 730 puskesmas.
Sesuai harapan Menkominfo Johnny G Plate, di akhir tahun 2020 semua fasyankes di Indonesia akan terkoneksi dengan internet sehingga layanan kesehatan digital dapat dinikmati seluruh masyarakat. Keberadaan akses internet di fasyankes dipastikan akan mempercepat dan mempermudah komunikasi serta diseminasi data yang sangat diperlukan dalam pengambilan kebijakan terkait penanggulangan Covid-19. ***