AGNEZ Mo sedang gerah. Klip wawancaranya dengan Kevin dari media Build, Amerika Serikat viral dan membuat dia jadi bulan-bulanan netizen.
Pasalnya, dalam video wawancara itu dia bilang sama sekali tidak punya “darah” Indonesia karena ia keturunan campuran Jerman, Jepang dan China. “Saya hanya lahir di Indonesia, dan saya juga seorang Kristen di negeri yang mayoritasnya muslim,” katanya.
Sontak dunia maya dipenuhi hujatan kepada Agnes Monica yang dianggap menampik kewarganegaraannya itu. Agnez menampik anggapan itu, karena dia tidak pernah menyangkal – bahkan selalu bilang – bahwa dia adalah warga negara Indonesia dan tidak pernah menutup-nutupinya.
Kasus semacam Agnez ini bukan pertama kali terjadi, yang menggambarkan bahwa bangsa kita ini, utamanya para netizennya, adalah bangsa yang berkarakter “sumbu pendek”. Mudah tersulut oleh ungkapan yang dikutip atau disorot secara sepotong-sepotong sehingga pemahamannya menjadi tidak utuh.
“Sumbu pendek”, mudah meledak, tidak hanya menjangkiti kalangan yang berpendidikan bawah tetapi juga mereka yang disebut sebagai orang pintar. Mereka acapkali tidak melakukan tabayyun (check and recheck), sebelum menghakimi, apalagi jika iri pada sasarannya yang merupakan orang yang tidak disukai atau mengenai hal yang sensitif.
Kasus kebijakan soal pusat data (data center), satu contoh lain dengan banyaknya kalangan, misalnya anggota Komisi 1 DPR, asosiasi pusat data, dan perkumpulan para ahli telematika, Mastel, hanya menyoroti satu frasa yang menjebak. Terasa sensitif menyangkut soal diperbolehkannya pusat data ditaruh di luar Indonesia.
Perbincangan yang sampai di forum rapat kerja Komisi 1 DPR dengan Menkominfo Johnny G Plate ini menyoroti diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). PP tadi menggantikan PP 82/2012 tentang hal yang sama, namun menjadi mengkhawatirkan jika hanya pasal 21 ayat 1 yang dibaca, dibahas tetapi mengesampingkan pasal dan ayat lainnya.
Kalangan masyarakat tadi menganggap bahwa PP 71/2019 merupakan penyangkalan terhadap kredibilitas Presiden Joko Widodo soal menjaga kedaulatan data nasional yang diucapkannya pada pidato tanggal 16 Agustus dan 14 Oktober 2019. Alasannya, peraturan pemerintah tadi telah membuka kesempatan untuk menempatkan pusat data di luar negeri.
Menurut mantan anggota BRTI (Badan Regulasi Telekomunkasi Indonesia) dan Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, para pembantu presiden telah berusaha menjerumuskan Jokowi. Ia menduga penyusun PP mendapat titipan bahkan tekanan dari pihak asing (CNN-8/11).
Klaim Bukan Publik
Pasal 21 ayat 1 PP 71/2019 memang menyebutkan, “Penyelenggra Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia.” Hanya data dengan klasifikasi tertentu, yang jenis data dan ketentuan penyimpanannya wajib disimpan di dalam negeri, akan diatur dalam peraturan menteri.
Dalam PP 82/2012, PSE untuk pelayanan publik wajib melakukan pendaftaran, sedangkan untuk pelayanan nonpublik tidak harus mendaftar. Kriteria pelayanan publik masih menggunakan aturan di UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan PP 96/2012 tentang Aturan Pelaksanaannya.
Masuk golongan ini adalah lembaga negara atau lembaga pemerintahan atau satuan kerja penyelenggara, BUMN, BUMD, lembaga independen yang dibentuk undang-undang. Atau badan hukum lain yang menyelenggarakan pelayanan publik dalam rangka pelaksanaan misi negara.
Peraturan Menteri (PM) Kominfo No 36/2014 menyebutkan, PSE berupa korporasi atau badan hukum yang wajib daftar dibatasi hanya untuk portal, situs atau aplikasi online melalui internet yang digunakan untuk fasilitas penawaran atau perdagangan barang atau jasa. Juga yang sistem di dalamnya terdapat fasilitas pembayaran atau transaksi keuangan lain secara online melalui sistem komunikasi data atau internet.
Termasuk juga sistem elektronik yang dipergunakan untuk memroses informasi elekronik yang mengandung atau membutuhkan deposit dana atau yang dipersamakan dengan dana. Sistem elektronik yang digunakan untuk pemrosesan, pengolahan, atau penyimpanan data menyangkut fasilitas data pelanggan untuk kegiatan operasional layanan masyarakat terkait aktivitas transaksi keuangan dan perdagangan. Juga sistem elektronik untuk pengiriman materi digital berbayar melalui jaringan data baik dengan cara unduh atau portal/situs, pengiriman lewat e-mail, atau lewat aplikasi lain ke perangkat pengguna.
Nah, berdasarkan aturan ini banyak PSE yang berbasis di luar negeri tetapi memberi pelayanan dan target pelanggan di Indonesia, mengklaim dirinya bukan masuk kriteria sebagai PSE pelayanan publik. Misalnya Instagram, Facebook, Google dan WhatsApp, yang hingga kini masih enggan mendaftarkan diri, apalagi karena PP 82/2012 tidak memberi sanksi administratif.
Demikian pula kepatuhan PSE atas kewajiban penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia tidak dilaksanakan, dan PSE hanya melaksanakan konsep mirroring dengan dengan database berada di luar negeri. Bahkan ada pusat data atau pusat pemulihan bencana yang tidak sesuai fungsinya karena tetap berada di luar wilayah Indonesia, tanpa Pemerintah Indonesia bisa memberi sanksi. Kenyataan ini membuat banyak PSE yang harus diblokir pemerintah, bahkan lebih ekstrem lagi, internet harus ditutup.
Transisi Setahun
PP 71/2019 justru lebih memberi kepastian, kejelasan dan keterjangkauan negara dalam kedaulatan terhadap data. PP baru ini juga mengedepankan pertanggungjawaban penuh penyelenggara sistem elektronik. Antara lain dalam pendekatan pengaturan soal kriteria dan batasan PSE lingkup publik dan PSE lingkup privat, serta pengaturan penempatan data dan sistem PSE.
Kriteria PSE lebih terukur dan pasti oleh PP 71 lewat pemisahan lingkup publik dan lingkup privat, sehingga menghilangkan keraguan akan kewajiban daftar bagi mereka. Disebutkan, kriteria lingkup publik meliputi instansi pemerintah atau yang ditunjuk pemerintah, PSE lingkup privat adalah PSE yang diatur dan diawasi kementerian atau lembaga berdasarkan aturan perundangan.
Termasuk privat adalah PSE ang memiliki portal, situs, aplikasi daring lewat internet di wilayah Indonesia atau yang ditawarkan di wilayah RI yang digunakan untuk berbagai keperluan bisnis. Misalnya PSE yang menyediakan, mengelola, mengoperasikan perdagangan barang atau jasa, transaksi keuangan, pengiriman materi atau muatan digital berbayar lewat portal atau situs, surel atau aplikasi lain ke perangkat pengguna.
Juga PSE yang menyediakan, mengoperasikan layanan komunikasi seperti SMS, panggilan suara atau video, surel, percakapan dalam platform digital, jejaring dan medsos. Mesin pencari juga masuk dalam kriteria ini, selain penyedia informasi elektronik berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film dan permainan atau kombinasi. Termasuk juga pemrosesan data pribadi untuk kegiatan operasional melayani masyarakat dalam kaitan transaksi elektronik.
PP 71/2019 secara tegas mengatur kewajiban pengelolaan, pemrosesan dan penyimpanan system elektronik dan data elektronik khususnya bagi PSE lingkup publik di dalam negeri dengan pengecualian terbatas. PSE lingkup privat bebas melakukan kegiatannya dengan kewajiban memastikan efektivitas pengawasan dari lembaga pemerintah dan pemberian akses dalam rangka penegakan hukum. Dan mengedepankan perlindungan yang jadi tanggung jawab PSE sepenuhnya.
PP pengganti PP 82/2012 ini tidak lagi membolehkan PSE mengedepankan penyimpanan data on shore untuk perlindungan dan kedaulatan negara atas data. Hal ini mengingat teknologi yang digunakan saat ini bukan dalam penguasaan penuh negara, juga merupakan kebutuhan baik pemilik data maupun kebutuhan bisnis berupa pertukaran data dan transfer data.
PP 71/2019 telah diundangkan dan mulai berlaku 10 Oktober 2019 sebagai peraturan pelaksanaan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transakasi Elektronik yang telah diubah dengan UU No 19/2016. Masa transisi setahun bagi PSE Lingkup Publik dan Lingkup Privat untuk memenuhi kewajiban mendaftarkan, dan selama dua tahun untuk PSE lingkup Publik untuk menempatkan sistem elektronik dan data elektroniknya di Indonesia. ***