Koruptor Dijamin Bisa Hapus Jejak

sinyal.co.id

Korupsi

Koruptor dapat hapus jejak dengan ketentuan perubahan minor UU No 11/2008.

Masih ingat kasus ibu rumah tangga, Pritasari yang harus mendekam dalam tahanan karena dituduh mencemarkan nama baik lewat milis yang tersebar pada Agustus 2008? Ia sial karena curhatannya menyangkut layanan buruk di RS Omni Tangerang di email kepada kawan-kawanya, tersebar ke beberapa milis, yang membuat berang pengurus rumah sakit tadi.

RS Omni mengadukan Prita ke polisi dengan dasar pelanggaran pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan pasal 27 ayat (3) Undang Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait masalah pencemaran nama baik. Polisi pun menjebloskan Prita ke balik jeruji karena UU ITE memuat ancaman hukumannya enam tahun dan denda semiliar rupiah, melewati batas maksimal lima tahun sebagai syarat bisa ditahan.

Prosesnya menuai protes di dunia maya, yang kemudian ditanggapi dengan vonis bebas Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, namun jaksa pun mengajukan kasasi. Mahkamah Agung (MA) menerima kasasi jaksa dan mengganjar Prita dengan hukuman pidana enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.

Kasus ditutup ketika MA menerima Peninjauan Kembali (PK) Prita dan membebaskan Prita pada 17 September 2012. Kasus ini yang antara lain membuat pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika – Kominfo) mengajukan perubahan atas UU ITE tersebut.

Hingga awal tahun ini ada sekitar 200 kasus serupa yang menyangkut UU ITE, misalnya kasus Arsyad seorang mahasiswa di Makassar yang memposting statusnya di BBM (BlackBery Messenger) yang dianggap mencemarkan nama baik Nurdin Halid (kini pengurus DPP Golkar) dengan menyebutnya koruptor. Ia sempat merasakan dinginnya lantai tahanan Polda Sulselbar lebih sedikit dari sebulan pada tahun 2013.

Atau kasus Fadli Rahim yang disangka mencemarkan nama baik Bupati Gowa Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpo lewat percakapan a la warung kopi di grup Line. Juga kasus Ervani Handayani dari Yogya pada Juli 2014 yang mencurahkan kegelisahannya karena suaminya dihadapkan pada pilihan mundur atau mutasi dari pekerjaannya di JJJ, Yogya, lewat akun Facebook-nya.

Menurut Menkominko Rudiantara, perubahan dilakukan antara lain untuk menyesuaikan dinamika teknologi dan menghindari kemungkinan kriminalisasi warga terkait pencemaran nama baik, akibat ancaman hukuman yang cukup tinggi. Berdasarkan aturan perundangan yang ada seseorang dapat ditahan begitu saja jika ancaman hukuman tindak pidana yang ia lakukan mencapai lima tahun ke atas.

Setelah perubahan kecil (minor) UU no 11/2008 itu disahkan DPR pada 27 Oktober pekan lalu, polisi tidak lagi bisa serta merta menahan seseorang yang terjerat pasal 27 ayat 3, karena ancaman hukumannya diturunkan menjadi “hanya” empat tahun dan denda Rp750 juta. Namun perubahan itu, meski minor, telah mencuatkan reaksi keras masyarakat yang menilai UU ITE masih tetap berpotensi membekap kebebasan masyarakat berekspresi lewat media sosial.

Masyarakat menilai, pasal-pasal perubahan tadi masih sangat mungkin ditafsirkan sesuai dengan selera penegak hukum.

Perubahan besaran hukuman tidak menjamin masyarakat tenang dalam mengungkapkan ekspresi, apalagi pemerintah dan DPR dalam perubahan minor itu juga memasukkan beberapa masalah baru, misalnya masalah perundungan di dunia maya (Cyber Bullying). Definisi perundungan (bullying) sendiri, yang sebenarnya lebih ditujukan kepada anak-anak, dalam UU ITE setelah diubah, menjadi dikenakan juga terhadap korban dewasa.

Suprijadi W Eddyono direktur eksekutif ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) mengatakan, sulit merumuskan tindak pidana perundungan di dunia maya tanpa merusak kebebasan masyarakat berekspresi.Akibatnya pasal yang mengatur perundungan di dunia maya ini akan menjadi pasal karet yang dapat disalahgunakan oleh penegak hukum.

Asep Komarudin, dari Lembaga Bantuan Hukum Pers khawatirkan masalah kewenangan pemerintah memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik memutus akses terhadap informasi elektronik yang dianggap memiliki muatan yang melanggar hukum. Katanya, kewenangan ini berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik, karena indikator muatan yang dilarang tidak dijelaskan secara rinci.

Pasal yang menarik dari perubahan UU No 11/2008 tentang ITE ini adalah munculnya aturan baru, seseorang boleh menghapus pemberitaan negatif mengenai dirinya di masa lalu. Ketentuan ini dikhawatirkan oleh ICJR akan menjadi alat sensor berita publikasi.

Pasal “right to be forgotten” atau hak untuk dilupakan, semula muncul di Eropa ketika seorang pengusaha sukses bangkrut. Kemudian ketika ia bangkit dan sukses lagi, ia sulit berkembang karena bank-bank menolak memberi kredit sebab masih ada media memberitakan soal kebangkrutannya di masa lalu.

Pada intinya aturan itu menyebutkan, orang yang sempat didakwa tetapi lalu dibebaskan pengadilan, ia boleh minta penetapan pengadilan agar berita tentang kasusnya tidak dimuat lagi di media. Secara kasar boleh dikatakan, koruptor akan memanfaatkan aturan di UU ITE ini untuk menghapus jejak kriminalnya walau permohonannya tidak serta merta diluluskan pengadilan karena prosesnya bisa memakan waktu setahun sampai tiga tahun.

Bagaimanapun, meski pemerintah puas akan perubahan yang sudah dilakukan terhadap UU kontroversial ini, namun publik menilai isi UU ITE setelah diubah masih “telanjang”. Masih banyak bolong-bolong yang berpotensi memunculkan berbagai interpretasi menjadi arti yang bisa jadi jauh dari makna awal yang dikehendaki pembuat undang-undang.

Itu sebabnya publik meminta  pemerintah segera mengeluarkan aturan yang lebih detil, terutama yang berupa Peraturan Pemerintah (PP), yang disusul oleh peraturan menteri (permen) atau keputusan menteri (kepmen). Tanpa ini, UU ITE tetap akan menjadi ancaman nyata pada kebebasan masyarakat berekspresi.

Hendro

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Sinyal Magazine
Login/Register access is temporary disabled